Pertama kali ngekost saat saya mulai sekolah di SMA yang ada di Sumedang. Saya asli Subang jadi mau gak mau saya harus ngekost. Setelah itu, pengalaman ngekost saya berlanjut. Total saya pernah 3 kali menempati tempat kost yang berbeda. Selama ngekost banyak hal yang saya alami. Pengalaman yang tidak akan saya rasakan kalau saya tidak pernah ngekost. Ada yang bahagia tapi, tak sedikit yang menyakiti hati saya. Duh perih.
Kostan pertama
Seperti yang saya jelaskan di prolog kalau pertama kali saya ngekost itu ketika memasuki masa SMA. Sebelum ijazah SMP saya terima, saya udah cuz ke tempat kost di Sumedang tepatnya di Kojengkang. Kostan pertama yang saya tempati adalah kostan khusus puteri dimana gak boleh ada lelaki yang memasuki area kostan apalagi masuk ke kamar. Duh, itu dilarang banget deh! meskipun adaaa aja yang melanggar. Ups! Bukan saya ko, saat itu saya masih polos dan sangat taat aturan! Apalagi yang punya kostan adalah bapak dan ibu guru di sekolah, jadi gak berani deh buat macem-macem.
Kalau inget pertama kali ngekost, jujur aja saya malu kalau ngingetnya. Soalnya tiga hari pertama ngekost, saya nangis terus dan menghubungi mamah kalau saya gak betah. Sampai-sampai ibu kostan ikut turut campur buat ‘ngupahan’ atau membujuk saya. Ibu kostan sampai minjemin tv radionya ke saya meskipun gak saya nyalain karena malu. Woahaha. Bahkan untuk menghibur saya, ibu kostan pernah cerita begini,
Dulu waktu kuliah, ibu tinggal di asrama. Beberapa kali ibu kehilangan celana dalam karena hal itu ibu pun memberi tulisan ‘nama ibu’ di semua celana dalam ibu. Jadi kalau ibu menjemur celana dalam, orang lain akan tahu kalau itu celana dalam ibu. Oh, ini celana dalam si ‘,,,’
Saya yang lagi sedih pun terpaksa harus nyengir. Gak kebayang deh. Ibu kostan saya memang suka bercanda dan baik banget. Dibandingkan dengan ibu kostan yang lain, beliau peduli dengan anak kostan. Sudah seperti ibu sendiri walaupun tetap canggung itu ada.
Kostan saya yang pertama termasuk kostan yang nyaman karena bersih, ada kamar mandi di dalam, kasur plus ranjang, meja belajar, bahkan menyediakan makan untuk 3 kali sehari dan lauk pauknya terjamin bukan cuma ceplok telor atau nasi goreng doank. Harganya termasuk murah banget kalau dibandingkan dengan harga kostan zaman sekarang (-,-yaiyalaaaah. Hahah). Cukup membayar 50 ribu untuk lauk, beras 10 kg dan 100 ribu untuk kamar. Kalau ingin lebih hemat, bisa sekamar berdua jadi uang untuk kamarnya dibagi dua. Murah banget kan?
Sekalipun kostannya nyaman tapi, tidak menyurutkan saya untuk tidak terkena masalah. Biasalah manusia, ada aja masalah!! Saya sekamar dengan Novi yang juga orang Subang. Novi berbeda karakter dengan saya. Saya introvert dan dia ekstrovert. Awalnya sih nyaman-nyaman saja, dia lebih banyak bercerita dan saya yang mendengarkan. Hingga satu hari, saya haid dan hanya duduk saja di kasur, tidak bergabung dengan yang lain. Kemudian ketika siang hari, tidak sengaja saya mendengar Novi berbicara dengan anak bungsu ibu kostan. Well, saya sendiri gak pernah bisa dekat dengan anak ibu kostan karena gak cocok. Berbeda dengan Novi, mereka berdua akrab. Novi bicara seperti ini ke dia,
”De, lihat deh, ada noda di kasur, kemungkinan si iilajah darah haidnya tembus ke kasur. Soalnya dia lagi haid dan duduk terus disitu”.
Saya masuk ke kamar dan mereka bersikap biasa saja seperti tidak terlihat sudah membicarakan saya. Hanya saya lihat anak ibu kostan ekpresinya berbeda. Saya yang tidak dekat dengan dia semakin tidak dekat. Alangkah baiknya jika saat kejadian itu terjadi Novi bertanya kepada saya,
“apa itu tembus dari haid kamu?”
Karena faktanya meskipun saat itu saya haid, darah haid saya gak tembus dan saya lihat di beberapa bagian kasur itu ada banyak noda yang serupa tapi, ya sudahlah.
Sejak saat itu, saya yang awalnya bersikap biasa dan mau bergabung dengan anak-anak kostan mulai menghindar. Saya memilih untuk menyendiri karena saya pikir mereka gak suka sama saya. Didepan bersikap baik tapi, dibelakang ngomongin. Nyebelin. Saya paling gak suka dengan orang yang doyan membicarakan orang lain dibelakang apalagi yang dibicarakan adalah keburukannya dan tidak bertanya terlebih dahulu. Malas saya berhubungan dengan orang yang seperti itu. Bermuka dua. Oleh karena itu, saya menjadi lebih suka menyendiri dan anak-anak kostan pun semakin menjauhi saya. Hubungan saya dengan Novi pun semakin jauh, meskipun sekamar kita sudah tidak saling berkomunikasi. Bahkan Novi sudah tidak mau tidur bareng sama saya lagi.
Sehingga kalau ada satu hal yang terjadi, saya yang kena. Misalnya ketika Novi mencium bau makanan di baju yang dijemurnya, Novi mengeluh kalau bajunya terciuma bau makanan dan dia gak tahu siapa yang melakukannya. Atau ketika Novi bersungut-sungut kalau sikat bajunya berada di lantai kamar mandi dan dia mengira kalau ada yang memakai tapi, tidak menyimpan ke tempat asalnya. Saya yang jelas-jelas selalu berada di kamar menyadari kalau sebenarnya Novi mengira kalau saya yang melakukannya. Padahal tidak, saya tidak sepicik itu. Meskipun saya tidak suka dengan orang lain, saya tidak akan pernah berbuat seperti itu, yang saya lakukan adalah menjauhi dan menyendiri tapi, hey siapa yang tahu sih? Sampai akhirnya Novi pindah kamar dan saya satu kamar sendirian.
Hingga saya kelas dua SMA, saya masih sendirian di kamar kost dan saya nyaman. Saya sudah tidak mau bersosialisasi dengan anak-anak kostan. Saya lebih banyak menghabiskan waktu sendiran di kamar. Menutup diri dari dunia karena saya pikir saya gak punya tempat disana, tidak ada yang suka dengan saya. Sampai ada seorang penghuni kostan baru yang menempati kamar disamping saya.
Satu malam ketika saya akan tidur, ada yang melemparkan kertas berisi pasir ke dalam kamar saya. Kertas itu berisi tulisan dengan spidol warna merah yang isinya menakut-nakuti saya tapi, saya sendiri gak takut karena saya tahu siapa pelakunya, penghuni kamar sebelah. Saya marah iya, kesal bercampur konyol sekali. Mereka kekanakan. Mereka pikir saya akan pindah kostan setelah ditakut-takuti seperti itu? ah, maaf saya tidak sepengecut itu, saya malah menunjukkan kalau saya kuat dan saya bisa ko sendirian tanpa harus mengenal anak-anak kostan. Toh di sekolah, saya masih punya teman yang mau menemani.
Masa-masa di kelas dua SMA saya menyenangkan karena saya mempunyai teman yang mau menerima saya apa adanya. Meskipun ada satu anak kost yang sekelas dan dia bilang kalau saya adalah MF, musuh forever. Saya tidak mengerti kenapa saya disebut musuh padahal saya tidak pernah menganggu dia. Di kostan pun saya lebih banyak mengurung diri di kamar. Ketika saya tanyakan ke teman saya, dia bilang mungkin karena saya selalu mendapatkan peringkat 1 dan dia peringkat 2 tapi, wajarkah jika hanya karena hal itu saya disebut musuh? Wallahualam.
Beranjak ke kelas tiga SMA, saya dan teman di sekolah semakin akrab satu sama lain sedangkan di kostan, suasana masih dingin. Hingga, ibu kost bertanya kepada saya,
“teh iilajah, mau gak kalau sekamar dengan teh ayu, kalau bersedia, teh ayu akan pindah ke kamar teh iilajah. Karena ibu pikir karakter teh iilajah dan teh ayu mirip jadi kemungkinan cocok”.
Gue jawab iya. Kalau nolak gak enak lagipula saya ingin meringankan orang tua saya dalam membayar uang kostan. Sejak saat itu, saya sekamar dengan Ayu. Karakter ayu dan saya mirip, sama-sama introvert walaupun lebih introvert saya. Ayu mungkin tipe ambivert? Perlahan hubungan saya dan Ayu menjadi lebih dekat. Terkadang sebelum tidur Ayu suka cerita tentang kehidupannya, begitupun dengan saya. Saya yang awalnya anti banget curhat dengan orang lain mulai terbuka. Bahkan Ayu adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui kalau ada seseorang yang saya sukai dari kelas satu. Hubungan saya dan Ayu pernah mengalami naik turun. Adakalanya mood kita berdua sedang tidak baik jadi sama-sama saling tidak bicara tapi, tak lama setelah itu kita berdua kembali saling berbicara. Hubungan saya dan Ayu mungkin tidak seperti orang lain yang berteman, yang bisa saling tertawa terbahak-bahak tapi, saya sendiri menyukai hubungan pertemanan yang tenang karena saya selalu terjebak dengan hubungan yang penuh tawa dan bebas bercanda seperti itu. Saya tidak bisa mengontrol emosi ketika diajak bercanda berlebihan. Saya tidak suka berbasa-basi dan membicarakan hal yang tidak penting. Saya sekamar dengan Ayu hingga lulus SMA dan kembali ke tempat asal masing-masing. Sampai sekarang kita masih berhubungan dengan baik walaupun sudah jarang sekali berkomunikasi tapi, kalau kebetulan sedang online bareng di facebook, kita berdua saling sapa.
Pengalaman ngekost pertama saya mungkin tidak menyenangkan karena saya lebih banyak menyendiri dan baru bisa merasakan mempunyai teman kost setelah kelas tiga tapi, dari sana saya belajar bagaimana rasanya hidup sendirian. Menyelesaikan masalah sendirian tanpa bergantung dengan orang lain. Saya menjadi lebih kuat dan berani meskipun adakalanya saya menangis. Na hirup teh kukieu-kieu teuing! Sejak saat itu pula saya memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan orang lain, apalagi jika orangnya riweuh, ember dan bermuka dua. Jauh lebih berhati-hati saja,,,,
Oh iya, satu hal yang tidak saya sukai selama ngekost disana adalah tidak adanya privasi karena ketika kamar kost saya tinggal, bapak/ibu kost suka masuk kamar tanpa bilang-bilang. Jadi kalau kamar kita kotor atau ada sesuatu yang bersifat 'privacy', ya mereka tahu dan saya tidak suka ketika tempat pribadi saya dimasuki orang lain tanpa permisi meskipun dia adalah yang punya kostan. Eh ko jadi menggunakan saya? Apakah karena faktor u? Zzzzzzz maaf khilaf.
Udah ah bye.
Kostan pertama
Seperti yang saya jelaskan di prolog kalau pertama kali saya ngekost itu ketika memasuki masa SMA. Sebelum ijazah SMP saya terima, saya udah cuz ke tempat kost di Sumedang tepatnya di Kojengkang. Kostan pertama yang saya tempati adalah kostan khusus puteri dimana gak boleh ada lelaki yang memasuki area kostan apalagi masuk ke kamar. Duh, itu dilarang banget deh! meskipun adaaa aja yang melanggar. Ups! Bukan saya ko, saat itu saya masih polos dan sangat taat aturan! Apalagi yang punya kostan adalah bapak dan ibu guru di sekolah, jadi gak berani deh buat macem-macem.
Kalau inget pertama kali ngekost, jujur aja saya malu kalau ngingetnya. Soalnya tiga hari pertama ngekost, saya nangis terus dan menghubungi mamah kalau saya gak betah. Sampai-sampai ibu kostan ikut turut campur buat ‘ngupahan’ atau membujuk saya. Ibu kostan sampai minjemin tv radionya ke saya meskipun gak saya nyalain karena malu. Woahaha. Bahkan untuk menghibur saya, ibu kostan pernah cerita begini,
Dulu waktu kuliah, ibu tinggal di asrama. Beberapa kali ibu kehilangan celana dalam karena hal itu ibu pun memberi tulisan ‘nama ibu’ di semua celana dalam ibu. Jadi kalau ibu menjemur celana dalam, orang lain akan tahu kalau itu celana dalam ibu. Oh, ini celana dalam si ‘,,,’
Saya yang lagi sedih pun terpaksa harus nyengir. Gak kebayang deh. Ibu kostan saya memang suka bercanda dan baik banget. Dibandingkan dengan ibu kostan yang lain, beliau peduli dengan anak kostan. Sudah seperti ibu sendiri walaupun tetap canggung itu ada.
Kostan saya yang pertama termasuk kostan yang nyaman karena bersih, ada kamar mandi di dalam, kasur plus ranjang, meja belajar, bahkan menyediakan makan untuk 3 kali sehari dan lauk pauknya terjamin bukan cuma ceplok telor atau nasi goreng doank. Harganya termasuk murah banget kalau dibandingkan dengan harga kostan zaman sekarang (-,-yaiyalaaaah. Hahah). Cukup membayar 50 ribu untuk lauk, beras 10 kg dan 100 ribu untuk kamar. Kalau ingin lebih hemat, bisa sekamar berdua jadi uang untuk kamarnya dibagi dua. Murah banget kan?
Sekalipun kostannya nyaman tapi, tidak menyurutkan saya untuk tidak terkena masalah. Biasalah manusia, ada aja masalah!! Saya sekamar dengan Novi yang juga orang Subang. Novi berbeda karakter dengan saya. Saya introvert dan dia ekstrovert. Awalnya sih nyaman-nyaman saja, dia lebih banyak bercerita dan saya yang mendengarkan. Hingga satu hari, saya haid dan hanya duduk saja di kasur, tidak bergabung dengan yang lain. Kemudian ketika siang hari, tidak sengaja saya mendengar Novi berbicara dengan anak bungsu ibu kostan. Well, saya sendiri gak pernah bisa dekat dengan anak ibu kostan karena gak cocok. Berbeda dengan Novi, mereka berdua akrab. Novi bicara seperti ini ke dia,
”De, lihat deh, ada noda di kasur, kemungkinan si iilajah darah haidnya tembus ke kasur. Soalnya dia lagi haid dan duduk terus disitu”.
Saya masuk ke kamar dan mereka bersikap biasa saja seperti tidak terlihat sudah membicarakan saya. Hanya saya lihat anak ibu kostan ekpresinya berbeda. Saya yang tidak dekat dengan dia semakin tidak dekat. Alangkah baiknya jika saat kejadian itu terjadi Novi bertanya kepada saya,
“apa itu tembus dari haid kamu?”
Karena faktanya meskipun saat itu saya haid, darah haid saya gak tembus dan saya lihat di beberapa bagian kasur itu ada banyak noda yang serupa tapi, ya sudahlah.
Sejak saat itu, saya yang awalnya bersikap biasa dan mau bergabung dengan anak-anak kostan mulai menghindar. Saya memilih untuk menyendiri karena saya pikir mereka gak suka sama saya. Didepan bersikap baik tapi, dibelakang ngomongin. Nyebelin. Saya paling gak suka dengan orang yang doyan membicarakan orang lain dibelakang apalagi yang dibicarakan adalah keburukannya dan tidak bertanya terlebih dahulu. Malas saya berhubungan dengan orang yang seperti itu. Bermuka dua. Oleh karena itu, saya menjadi lebih suka menyendiri dan anak-anak kostan pun semakin menjauhi saya. Hubungan saya dengan Novi pun semakin jauh, meskipun sekamar kita sudah tidak saling berkomunikasi. Bahkan Novi sudah tidak mau tidur bareng sama saya lagi.
Sehingga kalau ada satu hal yang terjadi, saya yang kena. Misalnya ketika Novi mencium bau makanan di baju yang dijemurnya, Novi mengeluh kalau bajunya terciuma bau makanan dan dia gak tahu siapa yang melakukannya. Atau ketika Novi bersungut-sungut kalau sikat bajunya berada di lantai kamar mandi dan dia mengira kalau ada yang memakai tapi, tidak menyimpan ke tempat asalnya. Saya yang jelas-jelas selalu berada di kamar menyadari kalau sebenarnya Novi mengira kalau saya yang melakukannya. Padahal tidak, saya tidak sepicik itu. Meskipun saya tidak suka dengan orang lain, saya tidak akan pernah berbuat seperti itu, yang saya lakukan adalah menjauhi dan menyendiri tapi, hey siapa yang tahu sih? Sampai akhirnya Novi pindah kamar dan saya satu kamar sendirian.
Hingga saya kelas dua SMA, saya masih sendirian di kamar kost dan saya nyaman. Saya sudah tidak mau bersosialisasi dengan anak-anak kostan. Saya lebih banyak menghabiskan waktu sendiran di kamar. Menutup diri dari dunia karena saya pikir saya gak punya tempat disana, tidak ada yang suka dengan saya. Sampai ada seorang penghuni kostan baru yang menempati kamar disamping saya.
Satu malam ketika saya akan tidur, ada yang melemparkan kertas berisi pasir ke dalam kamar saya. Kertas itu berisi tulisan dengan spidol warna merah yang isinya menakut-nakuti saya tapi, saya sendiri gak takut karena saya tahu siapa pelakunya, penghuni kamar sebelah. Saya marah iya, kesal bercampur konyol sekali. Mereka kekanakan. Mereka pikir saya akan pindah kostan setelah ditakut-takuti seperti itu? ah, maaf saya tidak sepengecut itu, saya malah menunjukkan kalau saya kuat dan saya bisa ko sendirian tanpa harus mengenal anak-anak kostan. Toh di sekolah, saya masih punya teman yang mau menemani.
Masa-masa di kelas dua SMA saya menyenangkan karena saya mempunyai teman yang mau menerima saya apa adanya. Meskipun ada satu anak kost yang sekelas dan dia bilang kalau saya adalah MF, musuh forever. Saya tidak mengerti kenapa saya disebut musuh padahal saya tidak pernah menganggu dia. Di kostan pun saya lebih banyak mengurung diri di kamar. Ketika saya tanyakan ke teman saya, dia bilang mungkin karena saya selalu mendapatkan peringkat 1 dan dia peringkat 2 tapi, wajarkah jika hanya karena hal itu saya disebut musuh? Wallahualam.
Beranjak ke kelas tiga SMA, saya dan teman di sekolah semakin akrab satu sama lain sedangkan di kostan, suasana masih dingin. Hingga, ibu kost bertanya kepada saya,
“teh iilajah, mau gak kalau sekamar dengan teh ayu, kalau bersedia, teh ayu akan pindah ke kamar teh iilajah. Karena ibu pikir karakter teh iilajah dan teh ayu mirip jadi kemungkinan cocok”.
Gue jawab iya. Kalau nolak gak enak lagipula saya ingin meringankan orang tua saya dalam membayar uang kostan. Sejak saat itu, saya sekamar dengan Ayu. Karakter ayu dan saya mirip, sama-sama introvert walaupun lebih introvert saya. Ayu mungkin tipe ambivert? Perlahan hubungan saya dan Ayu menjadi lebih dekat. Terkadang sebelum tidur Ayu suka cerita tentang kehidupannya, begitupun dengan saya. Saya yang awalnya anti banget curhat dengan orang lain mulai terbuka. Bahkan Ayu adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui kalau ada seseorang yang saya sukai dari kelas satu. Hubungan saya dan Ayu pernah mengalami naik turun. Adakalanya mood kita berdua sedang tidak baik jadi sama-sama saling tidak bicara tapi, tak lama setelah itu kita berdua kembali saling berbicara. Hubungan saya dan Ayu mungkin tidak seperti orang lain yang berteman, yang bisa saling tertawa terbahak-bahak tapi, saya sendiri menyukai hubungan pertemanan yang tenang karena saya selalu terjebak dengan hubungan yang penuh tawa dan bebas bercanda seperti itu. Saya tidak bisa mengontrol emosi ketika diajak bercanda berlebihan. Saya tidak suka berbasa-basi dan membicarakan hal yang tidak penting. Saya sekamar dengan Ayu hingga lulus SMA dan kembali ke tempat asal masing-masing. Sampai sekarang kita masih berhubungan dengan baik walaupun sudah jarang sekali berkomunikasi tapi, kalau kebetulan sedang online bareng di facebook, kita berdua saling sapa.
Pengalaman ngekost pertama saya mungkin tidak menyenangkan karena saya lebih banyak menyendiri dan baru bisa merasakan mempunyai teman kost setelah kelas tiga tapi, dari sana saya belajar bagaimana rasanya hidup sendirian. Menyelesaikan masalah sendirian tanpa bergantung dengan orang lain. Saya menjadi lebih kuat dan berani meskipun adakalanya saya menangis. Na hirup teh kukieu-kieu teuing! Sejak saat itu pula saya memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan orang lain, apalagi jika orangnya riweuh, ember dan bermuka dua. Jauh lebih berhati-hati saja,,,,
Oh iya, satu hal yang tidak saya sukai selama ngekost disana adalah tidak adanya privasi karena ketika kamar kost saya tinggal, bapak/ibu kost suka masuk kamar tanpa bilang-bilang. Jadi kalau kamar kita kotor atau ada sesuatu yang bersifat 'privacy', ya mereka tahu dan saya tidak suka ketika tempat pribadi saya dimasuki orang lain tanpa permisi meskipun dia adalah yang punya kostan. Eh ko jadi menggunakan saya? Apakah karena faktor u? Zzzzzzz maaf khilaf.
Udah ah bye.
0 comments